Di balik gemerlapnya Legian Kuta, ada anak-anak manusia
dengan segala gundahnya membaur dalam pencarian arti hidup, arti kebebasan dan
arti kebahagiaan
Beberapa
minggu terakhir saya membaca dua buku yang keduanya sama-sama membuat saya
gelisah, membuat saya merenungi banyak hal. Bahkan saking gelisahnya, kedua buku itu berhasil menandingi buku yang paling sering bikin saya gelisah,
yaitu buku catatan hutang, hehehe... gak dink. Lalu, tentang apakah kedua buku itu? Mengapa bisa membuat saya
gelisah?
Sebentar, saya tidak sedang membuat resensi, review atau apalah sejenisnya itu, saya hanya berbagi penilaian pribadi. Saya ga punya kualitas yang baik untuk ngeresensi sebuah buku. Apa yang saya tulis sekarang juga hanya sebuah ulasan sederhana. Di sini saya cuma mau berbagi kegelisahan. Jika mau dengar, mari sini, duduk dekat saya. Teguklah secawan gelisah yang saya suguhkan ini.
Sebentar, saya tidak sedang membuat resensi, review atau apalah sejenisnya itu, saya hanya berbagi penilaian pribadi. Saya ga punya kualitas yang baik untuk ngeresensi sebuah buku. Apa yang saya tulis sekarang juga hanya sebuah ulasan sederhana. Di sini saya cuma mau berbagi kegelisahan. Jika mau dengar, mari sini, duduk dekat saya. Teguklah secawan gelisah yang saya suguhkan ini.
Buku
yang pertama berjudul Legian Kuta, terbitan Pustaka Pelajar Januari 2013. Penulisnya N.Marewo, penulis Filmbuehne am Steinplatz, buku yang menenggelamkan
saya pada kegelisahan ganjil yang kemudian menghantar saya pada pencarian makna
hidup. Terlihat agak keren ya saya? Haaa. Selama ini saya keliatannya terlalu banyak becanda, cengengesan, cacingan, tapi jauh di dalam diri ini saya adalah
seorang yang gelisah, dan saya bahagia karenanya. YA, SAYA BAHAGIA MENJADI
MANUSIA GELISAH. Kegelisahan saya adalah media Tuhan untuk mengajari saya
memahami hidup dari kacamata berbeda. Meski saya sering letih disuguhi deretan tanya yang sukar terjawab, tapi saya nikmati sebagai
anugrah. Kelak akan saya temukan satu per satu jawaban itu. Perlahan saja,
sebab jika sekaligus, saya si mahluk kecil penuh batas ini tidak akan mampu mencerna. Memang inilah bijaknya Sang Maha Bijak. Dan
Dia akan terus ajari saya dengan caraNya yang selalu baik.
Tunggu,
menjelang akhir tulisan ini akan ada satu quote yang bisa
membuatmu bersyukur menjadi manusia gelisah. Quote yang saya ambil dari Legian
Kuta. Akan saya tuliskan untukmu. Tapi sebelum itu, sila simak sinopsis Legian
Kuta berikut ini:
Novel ini menguak
sisi tersembunyi tentang latar belakang
sejarah turisme di Legian Kuta, Bali dan sepak terjang para pendatang dari
berbagai penjuru dunia mendambakan hidup nikmat penuh kebebasan. Adakah mereka
terjebak harapannya, ataukah meraih apa yang didambakan? Kompleksitas
problematika manusia, seniman, hippies, surviver, pengembara, pecinta, pelacur,
preman, pebisnis, hingga mereka yang mempertanyakan hakikat hidup tertoreh
dengan gaya humanis. Kondisi psikologis tokoh dalam novel ini dieksplorasi
penulis membuka tirai untuk menatap dunia lebih luas; sarat makna, pemikiran
dan perenungan. Siapa sesungguhnya yang mengambil keuntungan dari kemajuan industri
pariwisata? Apakah pribumi atau pendatang asing? Siapa saja yang diuntungkan
dengan membanjirnya dolar yang mengalir ke Legian Kuta?
Legian
Kuta adalah sebuah tawaran untuk mengenali Bali dari sisi berbeda. Dari buku ini kita bisa mengenal sejarah Legian Kuta serta latar belakang sejarah turisme di Legian
Kuta, yang mungkin tidak banyak orang yang tahu atau peduli dengan ini. Coba pikirkan sebentar, apa yang terbayang di kepalamu saat
mendengar Bali? Barangkali yang pertama melintas adalah pantai-pantainya yang indah,
tarian khasnya, (ato mungkin bule-bulenya). Yah intinya ga jauh jauh dari pariwisata
Bali dengan pesonanya, dengan kemewahannya. Tapi pernahkah terpikir bagaimana
semuanya bermula? Bagaimana Bali bisa dikenal dan didatangi para wisman, bagaimana
bisnis mulai menggurita dan siapa sebenarnya yang menangguk untung besar dari
pariwisata Bali. Di buku ini akan kamu jumpai realitas yang mungkin akan mencengangkanmu. Bahwa di balik gemerlapan Bali sebagai unggulan pariwisata negeri
ini ada permainan tangan-tangan yang mengingatkanmu pada sebuah ironi klise : bahwa
kekayaan negerimu tidak seutuhnya kau nikmati. Bahkan mungkin tidak benar-benar
kau nikmati. Tapi bukan hanya itu saja. Sebagian anak negeri dipecundangi, menjadi budak di negeri sendiri. Sebagian lagi tergelincir (atau digelincirkan?) kenikmatan semu buah
dari gaya hidup hedonis yang dibawa masuk asing. Mentalitas dibuat kacau. Raga-raga
yang kehilangan jiwa manusianya hilir mudik di hiruk pikuk Legian Kuta. Tanpa
disadari.
Dan seperti yang disebut di atas, buku Legian Kuta
adalah sebuah kompleksitas. Selain
sejarah turisme, ada hal lain yang paling menarik saya. Adalah segala macam
problematika anak manusia dengan sentuhan humanis yang membuat hati tergetar.
Hal-hal yang sekian lama terpaksa kau sembunyikan di dalam jiwa manusiamu akibat
tuntutan hidup perlahan menyembul keluar, mengetuk nurani dan mengguncang bawah
sadar. Lalu tik tok,hei.. apakah aku masih
manusia?
Begitu
selesai baca saya mendadak murung. Sepanjang hari saya memilih di kamar, menyepi.
Merasa sedih dan resah oleh sesuatu yang
tidak saya mengerti. Yah, saya memang aneh. Mudah
sekali merasa sendu, gelisah.. Seharian saya terus memikirkan tokoh-tokoh di dalam
Legian Kuta. Kesepian yang mendera mereka juga mendera saya. Tanya dan harap yang
mereka lontar juga kini memenuhi kepala saya. Wajah Khalil murung dan hatinya trenyuh sedih saat melintasi jalan
Legian depan Monumen Bom Bali. Dipikirnya tragedi penderitaan yang dialami para
korban. Kepalanya menggeleng lemah menilai betapa rendah manusia memandang dan
memperlakukan yang lain.
Legian Kuta memiliki seabrek tokoh dengan
kisah hidup dan problemnya masing-masing. Beragam tokoh, beragam karakter, beragam kepelikan,
beragam kisah -entah itu serpihan masa lalu, kini dan angan-angan masa depan- terurai. Di balik gemerlapnya Legian Kuta, ada anak-anak manusia
dengan segala gundahnya membaur dalam pencarian arti hidup, arti kebebasan dan
arti kebahagiaan
Penggambaran sisi humanis dalam buku ini menyentuh hal-hal yang selama ini ada di kepala tapi tidak terawat dengan baik. Mengajari bahwa
seburuk apapun seorang manusia, dia adalah manusia. Yang dibekali hati. Seperti adegan salah satu
tokoh bernama Khalil yang ngasih cincin emas untuk seorang pengemis. Gara-gara
ini saya sampe mikir buat jadi... jadi seperti Khalil? Ngga. Saya berpikir
untuk jadi pengemis aja dan berharap suatu hari ketemu orang sebaik Khalil, hahahaha
*otak pengemis, wkwkwk
Tokoh-tokoh dalam buku ini
juga berkarakter unik. Misalnya Wiliam, mantan tentara yang dipecat kemudian sukses membangun kerajaan
bisnis di Legian Kuta. Karakter Wiliam
ini yang paling unik di antara semuanya kalo menurut saya. Penasaran? Baca aja, hehe.. Atau
tentang Faisal, seniman Yogya yang hijrah ke Bali dan meninggalkan Hilda
istrinya demi bersama Claudia, seorang wanita Kanada. Karna seenaknya
meninggalkan istri maka saya kesel sama tokoh yang satu ini, heuheu. Tapi di
satu sisi saya kagum dengan prinsipnya dalam berkesenian. Jarang ada seniman dengan
konsistensi seteguh Faisal, rasanya. Ia berkarya sesuai inginnya, sekalipun hal
itu membuat lukisannya tidak mudah diterima publik dan harus dipandang sinis
oleh beberapa pelukis lain. Suatu ketika Faisal berujar
pada Gatot : “Saya tak mau ubah ukuran
dan warna yang kupakai karena alasan pasar. Saya tak ingin pungkiri, semasih
nuraniku ingin melukis dalam ukuran dan warna itu kujalani walau tidak laku. Bagiku
melukis semacam terapi. Dan itu kulakukan dari hari ke hari” (halaman 289). Sesulit apapun keadaan ekonomi yang
membelit, Faisal tidak tergiur mengkomersialkan karyanya jika itu harus
menggugat idealismenya sendiri. Itu keren dan langka.
Saya
jadi inget sama lagu “Hidup Itu Pendek Seni Itu Panjang” dari Indie Art Wedding,
duet apik Bang Cholil Efek Rumah Kaca dan istrinya. Begini liriknya: “Hai taukah
kau bahwa hidup itu susah? Lebih baik engkau berkesenian saja...karna seni
membuat semua terasa mudah, karna seni membuat semua jadi indah, karna seni
membuat semua jadi asyik.. sebab hidup itu pendek, karna seni itu panjang, la
la la la la la la la... “. Hi Faisal, cobalah putar lagu ini setiap kali
berkesenian melelahkanmu...maka energimu akan kembali.
Lalu
ada tokoh Fadli, Lastri, Sukarti, Elisa, Ujang, Weye, Yamadin, Brigitta, dll.
dan tentu saja, Khalil, yang mengingatkan saya pada Riski dalam
Filmbuehne am Steinplatz. Tapi Fadli dan Faisal juga saya rasa merupakan
potongan-potongan jiwa Riski. Yang pernah mengenal Filmbuehne barangkali akan
sepakat dengan saya soal aura Riski pada Khalil atau Fadli.
Semua
tokoh tadi membaur, saling bertalian, merajut hari, merajut asa di sudut-sudut Legian
Kuta. Apakah akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari? Apakah sesungguhnya
makna kebebasan dan kebahagiaan itu? Bagaimanakah semua berakhir? Sila temukan sendiri
jawabannya. Yang mau pinjem bukunya ke saya boleh, biaya sewanya gocap yah
sehari, hlooh. *otak bisnis. Hehehe..
Sejak
dulu saya selalu menyukai cerita-cerita yang melibatkan banyak tokoh dengan
beragam kisahnya tersendiri. Karena memang hidup itu begitu kan. Kompleks.
Itulah kenapa saya juga suka sekali dengan film LOVE , itu loh film yang ada
Widyawati dan almarhum Sophaan Sophian juga ada Fauzi Baadila (yang di situ
sangat cool dan berhati emas, hoho). LOVE bercerita tentang anak-anak manusia
dengan kisah cintanya masing-masing. Serius keren filmnya. Manis dan humanis. Oh
iya, saking humanisnya ini film, saya sampe nangis sesenggukan hanya karna liat
adegan Sophan Sophiaan dicukur di tempat cukur rambut. Entah saya yang terlampau sentimentil ataukah
sisi humanisnya bener-bener sukses mengaduk emosi. Di film tersebut alm. Sophaan
Sopian yang menderita alzheimer menjalani hari dengan melakukan rutinitas yang
sama tanpa disadari kalo rutinitas itu harusnya sudah berhenti dilakukan. Alm. Sophan
yang berperan sebagai Pak Guru tidak ingat bahwa dirinya sudah pensiun sehingga
setiap hari beliau dateng ke sekolah untuk mengajar, dan setiap hari pula Pak
Kepala Sekolah menyambutnya ramah di gerbang lalu menyuruh beliau main catur
saja, karna beliau kan sudah pensiun. Trus setiap hari juga Pak Guru pergi
cukur rambut karena lupa apakah sudah cukuran atau belum. Sampe sampe tukang
cukur cuma motong ujung-ujungnya aja karna bingung kalo tiap hari mesti cukur
rambut yang sama. Eh kenapa jadi bahas film yah?
“Masalah apapun
yang menimpa kita, semua itu tangga menuju puncak pencapaian. Hidup dan
persoalan seperti air bagi dahaga. Dekaplah segala persoalan yang menimpa karena
hanya mereka yang bermasalah dan pernah gelisah yang menemukan pencapaian. Betapa
mengerikan hidup yang tak pernah gelisah karena mereka tak mencari apa-apa dan
tak mendapatkan apa-apa selain kehilangan dan kepalsuan” (hal. 334)
Hanya
mereka yang bermasalah dan pernah gelisah yang akan menemukan pencapaian. Indah
bukan?
Jadi, jangan sedih jika kamu dibuat gelisah oleh hidup. Dibuat tidak mengerti, dibuat
marah, dibuat lelah oleh berbagai masalah. Karna kamu sedang menuju pencapaian.
Pencapaian itu bisa berupa keterpesonaanmu pada hidup, yang berarti juga pada Sang
Pengatur Hidup. Maka, gelisahlah...
Oh
iya, buku kedua setelah Legian Kuta yang baru saya baca adalah The Journey nya
Gola Gong. Tapi buku ini akan saya bahas di postingan selanjutnya aja yah,
semoga masih bersedia pantengin tulisan-tulisan kecil saya. Terimakasih sudah
hadir. God Bless U. Salam.
*sambil dengerin Kuta Bali nya Andre Hehanusa. "di Kuta Bali cinta kita bersemi dan entah kapan kembali, mewangi dan tetap akan mewangi..bersama rinduku, walau kita jauh. Kekasih, suatu saat di Kuta Bali..."
amankan dulu pintu depannya...
BalasHapusseptong doang saya bacanya, cuman sampe "bahwa kekayaan negerimu tidak sepenuhnua kau nikmati....dari situ,ko' belum selesai juga ni cerita, discroll..walah masih panjang, simpen dulu buat bekel nanti malem dilanjutkan bolehkan?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSepertinya hana termasuk orang yang agak sensitif ya sampai-sampai terus memikirkan tokoh-tokoh yang ada di novel ini, kalo memang ada pertanyaan yang belum terjawab ya coba dibagi, jangan disimpen dan jadi gelisah sendiri :)
BalasHapusBy the way kalau kamu suka dengan novel-novel seperti novel Legian Kuta ini, sebaiknya kamu baca juga novel JK Rowling, The Casual Vacancy, yang super tebel itu, disitu juga banyak bercerita tentang beragam tokoh, beragam karakter dan problematikanya masing-masing :)
@pak kades cilembu : hihihi, kepanjangan yah tulisannya? saya lagi semangat menulis ini teh kang, inspirasi sedang mengalir deras..janten weh agak susah direm, hehe... hatur nuhun sudah berkenan membaca walo tulisannya panjang sepanjang jalan kenangan, hee :D
BalasHapus@seagate: masalahnya ga ada tempat berbagi dan bertanya mas, huhuhu...
BalasHapusyaap saya ini emang orangnya sensitif dan sentimentil, hihi.. waah saya belum pernah baca tuh The Casual Vacancy, sepertinya keren, thanks infonya mas :)
kirain tentang wisata.. :)
BalasHapusgola gong biasanya nulis tentang perjalanan ya? :)
salam kenal (pura-pura blum kenal)
teteh,,, pinjem bukuna lah,,, panasaran euy,,,
BalasHapuskunjungan teh,menyimak saja yah,baru pertama saya mampir ternyata banyak cerita yang menarik.
BalasHapus@satubumikita: hehehe, kirain saya abis dari Bali yah? hahaha... aamiin, mudah-mudahan aja bisa kesana kapan-kapan :)
BalasHapusGola Gong emang suka nulis buku2 traveling gitu, mangga disimak di postingan saya yang berikutnya, hehe... salam kenal (pura-pura belum kenal juga, wkwkwk)
@yusup: mangga kang, seharinya gocap yah? hahaha... :D
BalasHapus@zig zoor : hehehe hatur nuhun parantos sumping... :)
jadi mau baca bukunya juga deh hehe
BalasHapusbeli kartu e toll di alfamart
Idealisme itu yang saya dapat dari novel itu
BalasHapus