Minggu lalu
masyarakat dikejutkan dengan ‘celetukan’ kontroversial Daming Sanusi, salah
satu calon hakim agung yang mengatakan bahwa pelaku pemerkosaan tidak perlu
dihukum berat karena pelaku dan korban sama-sama menikmati. Pernyataan yang
diakui Daming "hanya" sebagai “candaan” itu ternyata menuai reaksi
keras. Banyak pihak, termasuk saya pribadi, yang menganggap celetukan tersebut
keji dan tidak manusiawi. Tidak sepantasnya kasus pemerkosaan dijadikan bahan
tertawaan. Apakah Daming Sanusi itu tidak tahu betapa beratnya beban psikologis
yang ditanggung para korban pemerkosaan? Rape is not a joke.
Namun jika kita
mau menelaah lebih jauh lagi, sebenarnya bukan hanya pemerkosaan saja yang
tidak layak dijadikan lelucon. Ada banyak hal yang sebenarnya tidak pantas
untuk dijadikan bahan lelucon namun sayangnya kerap diumbar bebas oleh beberapa
pihak. Salah satunya mengenai kekurangan fisik. Coba tengok sejumlah acara
televisi kita, khususnya acara komedi, berapa banyak yang mengumbar lelucon
konyol yang menyangkut fisik seseorang. Dengan tanpa beban para komedian itu
melontarkan candaan tentang kekurangan fisik yang dengan bodohnya disambut
ledakan tawa para penonton. Komedian dan penonton sama-sama sakit.
Atau berapa banyak
komedian yang sebenarnya memiliki fisik sempurna namun mencacatkan dirinya
sendiri hanya untuk mengundang tawa. Sebut saja Chika Wa Ode atau Azis Gagap
misalnya. Apakah mereka tidak memikirkan perasaan orang-orang yang memang
memiliki kekurangan? Tidakkah mereka berpikir bahwa candaan mereka kelak akan
ditiru para penontonnya kemudian “dipraktekkan” pada orang lain yang memiliki
kekurangan fisik?
Saya yang juga
terlahir dengan kekurangan fisik sebenarnya pernah melakukan kebodohan yang
sama, jujur saja. Secara sadar maupun tidak saya juga pernah tertawa mendengar
celetukan yang menyangkut fisik. Saya akui saya pernah melakukan
kebodohan itu walaupun biasanya saya tertawa bukan karena unsur fisiknya, tapi
lebih karena gaya penyampaian lawakannya. Tapi kemudian saya sadar, kekurangan
fisik sama sekali bukan lelucon. Sama sekali bukan lelucon. Bukan untuk
ditertawakan. Tidak ada yang lucu dari itu.
Saya memahami
betul bagaimana rasanya kondisi fisik yang ada pada diri kita dijadikan bahan
lelucon. Itu sungguh keji. Ketika orang-orang yang memiliki kekurangan fisik
seperti saya harus jatuh bangun menata kepercayaan diri, ada sebagian pihak
yang menjadikan kekurangan kami hanya untuk bahan lucu-lucuan. Ketika kami berjuang
menguatkan diri, menguatkan mental menerima kondisi yang sebenarnya tidak kami
kehendaki, orang-orang itu dengan entengnya menjadikan kondisi yang memberati
hati kami itu sebagai sebuah candaan. Mereka mungkin berpikir itu hanya ucapan
angin lalu, namun lain dengan kami yang merasakan betul beratnya berada pada
kondisi demikian.
Bukan hanya di
acara televisi saja sebenarnya, pada obrolan sehari-hari pun tidak jarang
lelucon konyol seperti itu terlontar. Bahkan dulu ketika masa sekolah,
salah
seorang guru saya pernah mengeluarkan lelucon tentang kondisi fisik orang-orang
seperti saya, padahal beliau tau di dalam kelas itu ada saya! Sayang sih dia
guru, mau tidak mau harus saya hormati. Kalo bukan guru mungkin saya sudah
bilang : pak, otakmu di mana?
Bayangkan,
padahal itu guru. Sosok yang mestinya jadi teladan, yang harusnya tidak
mengajari anak didiknya cara mencela ciptaan Tuhan. Sosok yang mestinya bijak.
Seseorang yang berpendidikan. Tapi rasanya ini memang bukan tentang setinggi
apa pendidikanmu atau apa profesimu. Saya rasa kebiasaan masyarakat kita
menjadikan kekurangan seseorang sebagai lelucon memang gambaran dari masyarakat
yang sakit, yang merasa superior dengan dirinya sendiri sehingga berkuasa
memandang rendah orang lain. Manusia-manusia seperti itu merasa dirinya
sempurna, hebat. Lupakah mereka bahwa fisik mereka itu hasil pemberian Tuhan?
Bukankah kita semua tidak pernah request sama Tuhan ingin terlahir seperti apa?
Kita tinggal terima saja bukan? Lalu jika orang-orang yang normal
bisa normal karena kehendak Tuhan, mengapa harus merasa bangga? Semua toh
sama saja hasil pemberian Tuhan.
Tidak bisakah
bersikap lebih bijak dengan tidak merasa diri superior dan sekaligus tidak
menghakimi kekurangan orang lain karena tidak ada satu manusia pun yang berhak
atas itu. Bukan kita yang mengatur hendak jadi apa, bagaimana. Saya juga kalo
boleh minta pasti ingin terlahir normal. Tapi bukankah semua yang ada pada diri
hamba semata-mata adalah kreasiNya? Adakah makhluk di dunia ini yang mampu melawan
kehendakNya yang agung? Tidak. Semua adalah kuasaNya. Tapi yang harus diketahui
bahwa kekurangan fisik bukanlah bentuk kelemahan Tuhan, hanya orang yang tidak mengerti
yang mengatakan begitu. Kekurangan fisik justru bentuk kemahabesaran Sang Maha
Besar. Ada begitu banyak makna di balik kekurangan fisik yang Tuhan beri
pada hambaNya. Tuhan ingin mengajari kita bersyukur. Tuhan menghadirkan
orang-orang seperti saya agar yang lainnya bisa bersyukur. Tuhan menciptakan
kekurangan agar kita tidak mengutamakan fisik. Bukan, bukan fisikmu yang Aku
utamakan, kata Tuhan. Tapi takwamu, hatimu... Lihat, alangkah agungnya
pelajaran yang hendak Tuhan beri pada kita. Betapa kurang ajarnya kita
yang berani menertawakan kebesaran makna itu.
Maka,
berhentilah mengolok-olok kebesaran Tuhan. Berhentilah merasa diri superior.
Berhentilah menghakimi kekurangan orang lain. Berhentilah menjadikan kekurangan
orang lain sebagai lelucon. Berhentilah jadi masyarakat yang sakit. Disability
is not a joke.
#23 Januari
2013. menulis di tengah serangan flu. yang ini mampet, yang ini ngga..
ga tau mw coment paan hana,,, Allag ga pernah menciptakan sesuatu dg sia2,, dan hanya org yg berfikirlah yg bisa mengerti itu semua,, :) kekurangan fisik bukanlah suatu hal yg buruk,, tp klo hati yg kekurangan itu suatu hal yg buruk,, bukan begitu???
BalasHapussaya mencoba mengerti dan memahami, tempaan itulah yang membuat orang orang itu menjadi kuat sekaligus hebat...dengan mereka mengolok-olok, artinya ujian bagi mereka untuk tidak melecehkan ngga kuat mereka tanggung...maka berdosalah mereka itu.
BalasHapussy juga punya kekurangan dari segi fisik, akibat kecelakaan sekarang kaki sy jd pendek sebelah, jalan ld pincang,, terkadang ktika ada lawakan yang berakting sperti orang pincang, ada rasa tersinggung.. Tp sy selalu menganggap itu adalah ujian dari Allah sejauh mana saya bisa menerima keadaan
BalasHapusdalam masyarakat sepertinya telah terjadi pembiaran atas sikap seperti ini...lelucon atas kekurangan fisik seseorang dianggap suatu kebenaran...namun ALLAH MAHA TAHU dan MAHA MELIHAT....dan kelak mereka kan menerima balasannya....cepat atau lambat, di dunia ataupun di akhirat...salam
BalasHapusSaya lebih menghormati dan menghargai orang-orang yang secara fisik kekurangan tapi mempunyai hati yang mulia,daripada orang-orang sempurna secara fisik tapi mempunyai hati keji,
BalasHapusNeng Hana Kamana wae ?? salam ka sadayana,,,
Setuju...
BalasHapusjika hati yang sakit akan sulit diobati
kadang kita dengan mudahnya mentertawakan kekurangan org lain sebagai lelucon, tp saat org lain mentertawakan kekurangan kita, kita seolah tdk terima. Jd lebih baik 'mentertawawakan' kekurangan diri sendiri.
BalasHapusuntuk masalah daming, entahlah kok sepertinya sedang marak para pejabat yg omongannya ngawur, masyarakat bisa menilai sendiri lelucon itu(mungkin bagi sebagaian org atau bnyk org bisa dikatakan satire bahkan sarkasme) dilontarkan seorang pejabat publik.
kepekaan dan rasa empati..mungkin itu yang kurang dari mereka2 yang menjadikan kekurangan orang lain sebgai bahan candaa atau olok2..disadari atau tidak... kalo saya malah menganggap mereka yang memiliki keterbatasan fisik jauh lebih beruntung dan lebih baik dari saya... merinding saya :)
BalasHapussetuju artikel ini. kadang orang2 suka melewati batas untuk bercanda, yang malah bikin sakit hati orang itu yang di bercandaiin.
BalasHapusbanyak tontonan komedi yang guyonannya jelek sekali
BalasHapus@sri : betul, kekurangan yang ada dalam hati (sperti misalnya kurangnya rasa sayang, peduli, empati, dll) jauh lebih buruk daripada kekurangan yang ada dalam fisik kita..
BalasHapus@Cilembu : benar sekali kang, bahwa pada dasarnya semua ini merupakan bentuk ujian. ujian bagi orang yang memiliki keterbatasan adalah saat ia 'direndahkan', sedangkan ujian bagi orang yang tidak memiliki keterbatasan adalah saat 'tidak merendahkan' orang lain
@yusup : alhamdulilah kalo kita mah mungkin bisa menyikapi secara positif, tapi saya kasian dengan mereka yang mentalnya belum sekuat kita.. itu yang membuat saya sedih..
BalasHapus@hariyanto: sebuah pembiaraan atas kesalahan yang dilakukan secara kolektif memang menjadi sesuatu yang akhirnya tidak lagi menjadi salah di mata masyarakat...
@dede : bahkan sering kita jumpai juga para penyandang disabilitas yang justru kualitas kehidupannya lebih baik dari mereka yang normal. hihi iya maaf kang, lama saya ga muncul nih..hehe.. salam baktos oge kang ti abdi :)
@opik : tulisan ini juga menjadi semacam teguran untuk diri saya sendiri, karna saya juga pernah khilaf, menertawakan kekurangan orang lain tanpa saya sadari bahwa itu adalah sesuatu yang jahat...eh tapi ngomong2 kasus daming ga jelas lagi nih kabarnya, keburu rame ngurusin anas yah sekarang, hehehe :D
BalasHapus@muh.ratodi : saya juga merasa beruntung dengan adanya keterbatasan, sebab saya bisa mengenali betapa Allah itu adil, betapa Allah itu Pemurah, betapa Allah itu Maha Besar... dengan kekurangan ini saya juga tumbuh menjadi pribadi yang memiliki empati lebih besar, itu benar-benar saya syukuri...
@parfum asli : hehe, bener.. kita ini sering banget kayanya ngelontarin becanda2 yang kelewat batas..apalagi kalo dah nyangkut2 fisik, kayanya hobi banget gitu...hehe
BalasHapus@sukague.com : saya sih berharapnya acara komedi kita bisa lebih sehat lagi ke depannya... oh iya terimakasih sudah mampir :)
Hmm,, Setuju banget mbak,
BalasHapustidak sebaiknya kekurangan fisik menjadi lelucon,
bukankah Allah telah menciptakan dengan Sebaik-baik bentuk.