Bermunculannya boyband dan girlband di ranah industri musik tanah air rupanya tak hanya diramaikan remaja dan orang dewasa saja. Belakangan muncul pula girlband dan boyband yang personilnya adalah anak-anak berusia sekitar 8-12 tahun dan masih duduk di bangku sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama. Tidak ada yang salah dari hal ini sebenarnya. Merupakan hak setiap orang termasuk anak-anak untuk berkarya di dunia musik. Tapi sayangnya kemunculan boyband dan girlband anak-anak ini menimbulkan beragam persoalan yang membuat miris. Pertama, tema lagu yang mereka usung kebanyakan berkutat seputar cinta kepada lawan jenis. Bayangkan! Anak-anak sekecil itu sudah diinternalisasi dengan nilai yang menurut saya belum pantas bagi mereka. Saya bergidik mendengar lirik lagu salah satu boyband anak-anak. Lagu mereka yang saat ini tengah booming sangat kental dengan unsur cinta lawan jenis yang sekali lagi, belum sepantasnya mereka gauli. Sebagai publik figur, sebagai seniman seharusnya mereka memberikan contoh yang baik. Namun tentunya anak-anak itu tidak bersalah. Yang keliru adalah orang-orang dewasa yang ada di balik karir mereka, baik produser, pencipta lagu, manajer bahkan orangtua sang anak yang semestinya tidak membangun dunia seperti ini bagi generasi sebelia mereka.
Selain lagu bertema cinta sebenarnya ada juga yang mengusung tema lagu tentang cita-cita maupun persahabatan, tapi sayangnya ada beberapa lagu yang liriknya masih terkesan dangkal dan dipaksakan. Bahkan ada yang menggunakan lirik bahasa asing namun terdengar ganjil di telinga. Saya teringat Oppie Andaresta yang menciptakan sebuah lagu yang mengajari anak-anak untuk menanam pohon demi lingkungan. Lirik lagunya sederhana, mudah dicerna semua kalangan, namun sangat indah dan bermakna. Tidak perlu memaksakan diri membuat lirik yang terdengar fantastis tapi sesungguhnya sangat dangkal. Mengapa para pencipta lagu anak-anak itu tidak mencontoh apa yang dilakukan Oppie maupun pencipta lagu anak zaman dulu, yakni membuat lagu anak dengan bahasa kanak-kanak yang polos, bersahaja dan bermakna.
Persoalan kedua, rata-rata penampilan berbusana boyband dan girlband anak-anak itu tidak sesuai dengan usia mereka. Mereka dipaksa dewasa sebelum waktunya. Gaya busana dan penampilan mereka sama saja seperti boyband dan girlband dewasa, hanya saja dalam versi tubuh yang lebih mini.
Namun persoalan selanjutnya adalah sebuah realita yang paling miris. Setiap kali anak-anak itu bernyanyi di atas pentas, terkadang mereka tidak bernyanyi dengan menggunakan suara asli alias hanya lipsync saja! Lip sync atau lip-synch adalah cara menyanyi dengan menggerakkan bibirnya saja sedangkan lagu dari si penyanyi diputar dengan keras (sumber: Wikipedia). Fenomena lipsync akhir-akhir ini begitu merajalela di industri musik Indonesia. Nyaris sebagian besar musisi, entah itu penyanyi solo, duo, band, boyband, girlband menggunakan teknik lipsync ketika bernyanyi. Ada yang mengatakan lipsync digunakan karena kualitas suara yang tidak terlalu bagus. Bukankah ini memalukan? Pada dasarnya bernyanyi adalah unjuk suara. Tapi para penyanyi itu justru mempertontonkan penipuan kolektif dengan hanya berpura-pura menyanyi.
Lipsync di sejumlah Negara adalah hal yang sangat ditentang keras dan merupakan hal yang memalukan. Bahkan sanksi bagi penyanyi yang terbukti melakukan lipsync sangat berat sekali. Misalnya Milli Vanili kelompok musik pop dan penari keturunan Jerman-Amerika yang di tahun 1989-1990 pernah menggemparkan dunia musik karena kedapatan lipsync sehingga sejumlah penghargaan yang telah mereka raih dikembalikan lagi.
Ironisnya di Indonesia lipsync justru menjadi suatu hal yang sudah dianggap biasa dan wajar. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang di balik industri musik di negeri ini tidak tergerak untuk memperhatikan kualitas seorang penyanyi. Lipsync jelas-jelas upaya penipuan publik. Bagi para pendengar, suara yang disajikan si penyanyi terdengar indah dan jernih. Padahal pada kenyataannya itu hanya suara saat rekaman. Bahkan tidak jarang para penyanyi itu ketahuan tidak memiliki kualitas suara mumpuni ketika bernyanyi dengan suara asli. Lalu mau dibawa kemana dunia musik kita? Akankah kita bangga dengan para penyanyi yang hanya bermodal tampang atau ketenaran lalu menjual kepalsuan ?
Ini dunia musik. Yang diutamakan adalah suara penyanyi dan kualitas musik. Bukan soal penampilan atau rupawan tidaknya seseorang. Namun realitanya penampilan justru menjadi nomor satu. Nomor dua adalah popularitas. Kualitas suara entah menduduki nomor keberapa. Parahnya lagi budaya lipsync ini juga diajari kepaada anak-anak personil boyband dan boygirl itu. Berarti sejak kecil mereka sudah diajari berbohong, tidak professional, tidak total, tidak percaya dengan kemampuan sendiri. Mental anak-anak itu dibuat untuk terbiasa menyajikan karya dengan penuh kepura-puraan, asal penonton senang. Lalu dimana keahlian? Dimana latihan dan kerja keras? Jika sejak kecil saja sudah diajari menipu publik, bagaimana jika mereka nanti dewasa?
Saya teringat para penyanyi cilik era saya dulu. Sherina, Tasya atau Trio Kwek Kwek. Dengarkan betapa merdu dan menawan suara mereka. Dan saya rasa mereka digemari bukan karena wajah yang rupawan menggemaskan, tapi benar-benar karena keindahan suaranya. Apakah kini, dengan dibiasakannya lipsync kepada anak-anak, masa depan musik kita akan terjamin mutunya? Apakah akan muncul kembali sosok penyanyi yang memiliki angelic voice seperti Sherina jika saat ini anak-anak tidak diajari mengutamakan kualitas suara?
Tidak semua penyanyi anak-anak melakukan lipsync memang. Ada juga yang menyanyi dengan suara asli dan suaranya memang berkualitas. Tetapi biasanya mereka ini adalah para solois. Kita mungkin masih ingat dengan ajang pencarian penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Sejumlah jebolan ajang itu memang terbukti memiliki kualitas vokal sebagai penyanyi. Namun sayang penyanyi seperti mereka saat ini justru jarang muncul di televisi. Hanya satu dua yang masih terlihat tampil di sejumlah acara. Kehadiran mereka terseret derasnya arus boyband dan girlband cilik yang sayangnya dibiasakan melakukan lipsync saat tampil. Mungkin karena yang diutamakan adalah dancenya.
Anak-anak itu seharusnya tetap diajari bagaimana bisa menyanyi dengan kualitas prima sambil menggerakan seluruh tubuhnya dengan atraktif, tentunya sesuai dengan usia dan kemampuan mereka. Saya tahu bahwa menari sambil bernyanyi itu tidak mudah, tapi bukan berarti lipsync menjadi jalan yang dihalalkan. Bagaimana dengan masa depan dunia musik negeri ini jika kualitas suara dan lagu yang bermutu tak lagi jadi prioritas. Bahkan penyanyi cilik sudah diajari menipu publik dengan hanya berpura-pura bernyanyi saja.
Saya berharap budaya lipsync secepatnya punah dari dunia musik Indonesia,baik itu bagi penyanyi dewasa maupun kanak-kanak, karena lipsync hanya menunjukan bahwa kualitas penyanyi Indonesia sangatlah rendah. Mari kita bangun dunia musik yang membanggakan, karena negeri ini memiliki potensi luar biasa di bidang ini.
Dan kepada para produser, pelatih vokal, kru acara musik di televisi atau siapapun itu, tolong jangan ajari anak-anak bangsa ini menjadi penipu….
#postingan ini ditulis untuk mengikuti lomba Realita Musik Anak Indonesia yang diselenggarakan Mizan.
miris memang, Teh. kalo aku berbakat di bidang musik mah aku pengen deh bikin lagu anak2 yang memang layak untuk anak2.
BalasHapusMenyedihkan banget kalo kenyataannya kaya gini.. Masih kecil uda diajari nipu, gimana besarnya nanti yaa?... Dan parahnya lagi, katanya kalo acara nonton langsung, penonton yg brada di barisan paling depan dibayar untuk meramaikan suasana. Jd smacam menimbulkan kesan dipaksakan nontonnya.
BalasHapusbahaya atuh kitumah....
BalasHapusmenurutku pribadi..kita sebagai penikmat/konsumennya mulai sekarang jangan menonton dan membaca boy/girl, salah kita juga suka membesar-besarkan dan membumingkan hal-hal yang buruk. mereka ada dan seperti itu karena ada pasar, coba kalau pasarnya ga ada, pasti ngga laku dan mereka pasti mencari alternatif jenis lagu yang baik untuk boys/girl band
BalasHapussebenarnya budaya lipsync itu memang berasal dari indonesia sndiri, bhkan udah dr zaman baheula...mereka kan meniru dukun2 zaman dulu saat membaca mantra, jd sebenernya mereka bukan bernyanyi,tp bca mantra...wkwkwkwkwkwk
BalasHapusMenarik sekali ulasannya..
BalasHapusSaya setuju sekali dengan semua pandanganmu tentang boyband dan boygirl cilik yang memang saat ini sering saya lihat di acara-acara musik akhir-akhir ini. Miris memang melihatnya, saat mereka di 'eksplotasi" dan dibuat "dewasa" sebelum waktunya oleh orang-orang yang seharusnya membimbing mereka dan mengarahkan mereka untuk berkarya di "jalan yang benar"
saya juga merindukan penyanyi anak anak seperti sherina dulu tapi itu mungkin akan sulit ditemui lagi sekarang...
BalasHapuspadahal music itu tak melulu keuntungan. Karena berpkir untung semuanya hanya terikut arus trend. hingga jadi kebablasan...
semoga saja music indonesia jadi semakin berkualitas dan tidak melulu bicara untung..
mantap ulasannya.. moga tulisan ini dibaca oleh para produser musik.
salam
public figure, demam idol, dan sensualitas yang vulgar untuk anak muda... memang cuma bisa prihatin... dan tentu, kita memang sepatutnya waspada dan mengantisipasi tentang isu seperti itu..
BalasHapush ya, baca nama blog mu, bikin aku kangen lagu UTOPIA yang judulnya hujan... ^^
baik buruknya anak2 kita, adalah kita sebagai orang tua yang menentukannya. Jk sejak dini sudah diajarkan keburukan, jngn salahkan mereka jika suatu hari merugikan kita.
BalasHapus@syifa : kita mungkin ga bisa bikin lirik lagu, tapi sebagai blogger kita bisa nulis artikel tentang anak-anak, bahkan bisa nulis buku tentang anak-anak :)
BalasHapus@sam : setuju kang, saya liat para penonton yang di depan itu kaya yang lagi sandiwara. ketawanya pura-pura, hebohnya juga kadang terkesan dipaksakan,hehe
@kampungku : iya, kalo dibiarkan bisa tambah parah...kualitas musik kita bisa jadi amburadul
@cilembu :betul sekali kang, sebagai pendengar kita juga harus jadi pendengar yang cerdas agar pasar yang tercipta juga menjadi pasar yang cerdas
@sidiq : wkwkwk, berarti itu penyanyi, apa dukun? hahaha
BalasHapus@seagate : anak-anak itu memang tidak bersalah, mas...harusnya orang-orang dewasanya yang arahin mereka...
@arman : amiin, terimakasih dukungannya... iya bang, harusnya produser ga cuma mikir untung aja, tapi bener-bener peduli sama kualitas musik
@pieces : itu juga lagu favorit saya ^^
makasih udah berkunjung..minimal kita bisa protek anak-anak atau sodara kita dari "kebrutalan arus pergaulan"saat ini. Agar mereka ga denger lagu yang ga tepat dan ikut berpenampilan dewasa di usia semuda itu
@yusuf : iya kang, harus ada peran aktif dari orangtua juga...
Perlu intensive control dr orang tua...pilihlah tontonan yg sesuai dengan usia mereka.
BalasHapusnice post sist
yupz, orangtua berperan penting dalam mengawasi dan memilij tontonan apa yang layak untuk anak, dan siapa yang pantas diidolakan anak-anak
BalasHapus