Tidak banyak orang-orang terdekat saya yang tau kalau saya ini tipe orang perfeksionis. Perfeksionis adalah sebutan untuk orang-orang yang “mengidap” perfeksionisme, yaitu suatu keyakinan bahwa seseorang harus terlihat sempurna menurut standar idealnya serta harus selalu mencapai kondisi terbaik pada aspek fisik dan non fisik. Orang perfeksionis cenderung tidak mudah puas terhadap sesuatu yang dikerjakannya. Itulah yang sering saya rasakan pada diri saya.
Untuk beberapa hal, saya terbilang cukup perfeksionis. Contohnya dalam urusan membersihkan rumah. Membersihkan rumah bagi saya terangkum dalam “satu paket wajib” yang harus saya lakukan. Paket tersebut yakni : membereskan dan merapikan ruangan, mengelap debu, menyapu dan baru mengepel. Semua wajib dilakukan, tidak boleh ada yang tidak. Saya sering merasa tertekan kalo ngepel rumah tapi ruangannya belum dirapikan atau debu di lemari belum dibersihkan. Saya sering mencela kebiasaan adik saya yang tetap cuek mengepel walau kamar atau ruang tamu berantakan. Saya tidak bisa seperti itu. Maka setiap kali beres-beres, saya mewajibkan diri untuk melakukan satu paket tersebut, walaupun sebenarnya itu tidak harus selalu dilakukan karna beres-beresnya toh hampir tiap hari. Normalnya kan debu-debu di lemari juga ga perlu dibersihkan tiap hari. Tapi bagi saya, semua sudah satu paket tok. Kalo mau ngepel, ya harus benar-benar terlaksana dulu tiga pekerjaan tadi. Selelah apapun dan sependek apapun waktu yang saya miliki akan saya usahakan untuk mengerjakannya, kecuali kalau memang saya benar-benar tidak punya kesempatan melakukan itu.
Akhirnya, rangkaian “paket wajib” tadi membuat waktu untuk beres-beres rumah sampai memakan durasi satu setengah jam bahkan dua jam lebih. Hal inilah yang kemudian akan jadi bumerang bagi saya tatkala saya sibuk sehingga waktu untuk beres-beres hanya sebentar, atau saat badan saya letih sehingga tak kuat melakukan banyak pekerjaan. Rasa stress saya pun terpicu.
Saya bisa saja hanya menyapu dan mengepel, tapi tetap dalam hati merasa risau dan tidak puas karna ada yang kurang dari rangkaian paket beres-beres rumah ala saya tadi. Tentunya ini terasa menyiksa sekali. Di satu sisi saya ingin segalanya sempurna, tapi di sisi lain saya tidak berdaya untuk membuat segalanya sempurna menurut standar saya.
Saya bisa saja hanya menyapu dan mengepel, tapi tetap dalam hati merasa risau dan tidak puas karna ada yang kurang dari rangkaian paket beres-beres rumah ala saya tadi. Tentunya ini terasa menyiksa sekali. Di satu sisi saya ingin segalanya sempurna, tapi di sisi lain saya tidak berdaya untuk membuat segalanya sempurna menurut standar saya.
Selain durasi beres-beres yang lama, saya juga tidak senang jika ada orang yang menginjak lantai yang sedang saya pel. Satu injakan saja bagi saya bisa merusak seluruh hasil kerja saya. Saya ingin semua hasil kerja saya harus tampak “sempurna”. Keluarga saya sudah mafhum dengan kebiasaan ini. Maka tidak ada yang berani menginjak lantai basah yang sedang saya pel kecuali memang untuk urusan gawat seperti kebelet pipis atau lapar nyaris setengah pingsan. Kalau bukan untuk hal penting, mereka memilih untuk menunggu sampai lantai kering daripada melihat saya jamedud murukusunu alias pasang tampang manyun, huhu.
Masih tentang beres-beres rumah, saya juga tidak begitu percaya pada adik saya untuk urusan yang satu ini. Saya merasa dia tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Bukan saya sombong atau sudah ahli dalam beres beres rumah, tapi dalam pandangan saya, saya bisa melakukan semua dengan lebih rapi, teliti dan memuaskan ketimbang adik saya. Bahkan kadang saya sering mengepel ulang lantai yang sudah dipel adik saya karna merasa kurang puas. Entahlah, apakah saya adalah pribadi yang bertanggung jawab ? Ataukah sosok yang kelewat idealis dan egois? Hhaaa…saya tidak tau apa jawabnya.
Contoh keperfeksionisan saya lainnya adalah saat menulis catatan kuliah. Saya malas sekali kalau ada satu saja tulisan yang dicoret di catatan kuliah saya karna kesalahan menulis atau dosen yang keliru menerangkan. Dulu saya sering mengulang menulis catatan hanya karna ada satu kalimat yang salah dalam catatan saya padahal saat itu saya sudah menulis berlembar-lembar. Masalahnya, seringkali dosen menerangkan dengan cepat sehingga otomatis saya harus menulis dengan terburu-buru sehingga kurang rapi dan kadang banyak salahnya. Menyiksa sekali bukan. Karna perasaan tersiksa itu, akhirnya saya memutuskan menulis berantakan sekalian, baru nanti disalin lagi ke buku lain yang tentu saja harus ditulis sehati-hati mungkin agar terlihat “sempurna” di mata saya.
Kejadian melelahkan juga terjadi beberapa waktu lalu saat saya dimintai tolong menulis buku administrasi dari kelas yang dipegang Ibu saya. Tulisan saya dianggap lebih rapi dari ibu sehingga lebih layak menulisi buku administrasi (padahal sebenarnya berantakan, seberantakan gigi saya, hehe). Setelah menulis buku administrasi penerimaan murid baru dan absensi kelas, saya merasa tulisan saya tidak rapi walau ibu saya berkali-kali bilang itu sudah cukup rapi. Saya tetap tidak puas dan menyesali beberapa kesalahan kecil dalam buku itu. Rasanya mengulang dari awal pun saya rela kalau saja buku administrasinya memiliki halaman lebih. Tapi sayangnya buku tersebut hanya dijatah sekian lembar untuk setiap tahunnya. Sehingga ujung-ujungnya saya jadi sedikit trauma melihat buku itu lagi karna saya menganggap di sana ada pekerjaan saya yang berantakan.
Sepintas, jadi orang perfeksionis itu bagus. Saya bisa melakukan sesuatu dengan penuh totalitas. Saya bisa menghasilkan banyak hal yang lebih teliti dan sempurna, walau tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini dan kriteria sempurna bagi tiap orang pun berbeda. Sempurna yang saya maksud dalam hal ini adalah kondisi terbaik dari sesuatu. Tapi sisi buruknya, jika saya sedang berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan saya untuk melakukan segala sesuatu sesuai harapan, saya jadi merasa stress sendiri. Saya tertekan saat berada dalam situasi yang “tidak sesuai standar” saya. Saya tertekan saat saya tidak berdaya untuk membuat semuanya sempurna. Belum lagi jika lingkungan sekitar adalah orang-orang yang tidak “sepaham” dengan saya. Saya jadi terlihat seolah-olah egois, arogan dan sok idealis, padahal saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya berpandangan bahwa setiap kali kita bekerja, hasilnya harus sebaik mungkin. Tapi hal itu kadang membuat saya jadi merasa lelah sendiri. Misalnya saat saya sedang merapikan rumah lalu kakak atau ponakan saya dengan santainya lenggang kakung sana sini dan membuat kerapian rumah jadi rusak, saya bisa frustasi dan ngambek. Mood beres-beres pun bisa sampe anjlok. Gara-gara sifat saya yang seperti itu, saya sering jadi bahan olok-olok dan dijuluki Miss Perfect, walau sebenarnya saya juga tidak seperfeksionis itu. Kadang saya juga bisa berantakan, ugal-ugalan. Apalagi jika mood kerja saya sedang turun, saya bisa juga mengabaikan keadaan rumah yang berantakan. Tapi memang saya akui, dibanding sifat awur-awuran tadi, sifat perfeksionis lah yang lebih mendominasi..
Awalnya sih saya juga ga sadar kalo saya orang yang perfeksionis. Saya baru ngeh beberapa minggu terakhir, puncaknya saat sodara-sodara saya menjuluki saya Miss Perfect. Saya pun mulai merenung dan menyadari bahwa selama ini saya memang agak perfeksionis. Tapi saya ga tau apakah perfeksionisme itu adalah kepribadian saya atau suatu syndrome yang saya idap tanpa sadar. Saya pernah membaca suatu artikel tentang kepribadian dan perfeksionisme identik dengan kepribadian melankolis. Lalu saya mengkaitkan keperfeksionisan ini dengan kepribadian saya yang didominasi melankolis-plegmatis. Saya juga berusaha menelusuri ciri-ciri lain dari kepribadian melankolis seperti menyukai kerapian, menyukai perincian, idealis, menetapkan standar tinggi, tertib dan terorganisasi, cermat dan teratur. Sejumlah ciri-ciri tadi sama dengan karakter saya. Jadi sepertinya ada kemungkinan kalau keperfeksionisan ini adalah bawaan dari kepribadian melankolis saya. Entahlah, itu baru analisa asal-asalan saya.
Hhh….saya ga tau harus bersikap seperti apa dengan keperfeksionisan ini. Kadang merasa sangat menikmati karna ada hal- hal positif yang saya rasakan. Tapi kadang saya merasa lelah sendiri..sangat lelah dan jengkel. Sayangnya saya tidak bisa melawan suatu desakan dari dalam diri saya yang terus menuntut agar semua jadi perfect. Saya juga bingung harus bagaimana, darimana semua berasal dan mengapa saya begini. Mungkin untuk saat ini hanya menikmatinya saja, sebagai satu karakter yang dianugrahkan Allah untuk saya. Saya syukuri saja sisi positifnya, dan untuk sisi negatifnya saya tolerir sedikit demi sedikit. Yang penting saya tetap jadi diri saya sendiri…
memang jadi perfeksionis apalagi klo idealis akan sangat melelahkan hati.
BalasHapustapi ada baiknya juga, eksplor aja sisi baiknya teh.
asalnya cape tp stlah hal2 yg kita lakukan spt beres2 itu akhirnya kelar spt apa yg kita inginkan, hati akan merasa puas dan senang. kelola saja, agar tak terlalu perfeksionis :)
salah satu Oom aku juga kayak kamu..
BalasHapusagak ngeri sih.. soalnya kalo ada barang2nya dia yang tergeser satu centipun apalagi sampai berpindah tempat maka ia akan marah besar... hahahaha
kalo perfeksionis jangan sampai kamu menyakiti orang lain... :)
BalasHapuskarena dunia juga perlu orang2 perfeksionis seperti kamu untuk menciptakan karya2 besar
@irma : bener banget teh, saat ini yang bisa saya lakukan juga cuma belajar mengendalikan perasaan itu,supaya lebih banyak positifnya dan saya tidak mudah tertekan. Cukup sulit memang, mengingat itu adalah sesuatu yang sudah cukup mengakar dalam diri saya, tapi semoga saya bisa..^^
BalasHapusHilangkan dulu rasa ketakutan melakukan kesalahan. Kadangkala rasa keperfeksionisan terjadi karena ketakutan kalau2 kesalahan yang mbak buat itu dapat menimbulkan kesialan dalam aspek lingkungan. Jangan berprasangka buruk, apalagi terhadap diri sendiri. Hindari kebiasaan menilai hasil akhir yang ada di depan mata, tetapi nilailah proses yang sudah kamu lakukan. (ingatlah proses, bukan hasil. Hasil itu ditentukan oleh yang Mahakuasa)
BalasHapus@enno : horeee, berarti saya ada temen..hihihi..
BalasHapuskadang saya juga gitu, trus misalnya kalo abis rapiin seprei dan tiba2 adek saya nyelonong dan tiduran di atas kasur, bisa langsung tandukan deh saya...huhu..
saran aja nih..
BalasHapustime management nya atau pengaturan waktunya diperbaiki dikit.. biar gak kewalahan.. cara ngaturnya salah satunya dg membuat "to do list" buat besok hari, lusa, dan seterusnya..
ambil hikmahnya aja menjadi sang perfeksionis hehe.. :D
keep writing..!!
-salam bloofeers-
Membaca catatan mbak Hana diatas sangat mengasikkan untuk didiskusikan, berbicara tentang perfeksionis gambaran saya tertuju pada suasana yang rapi, terinci, penuh dengan data2 yg autentik, tabel2 rencana yg tersusun rapi dsb..dsb.., dalam sebuah buku Personality Plus karya Florence Litteur disebutkan sbg type atau berkarakter Melankolis..., karakter yg menghendaki sebuah kesempurnaan, berbicara perfeksionis kita tidak boleh melupakan dua apek penting yaitu Idealis dan Realistis, setiap orang pati menghendaki sesuatu yg idealis yaitu sesuai dengan keinginan, sesuai dgn rencana atau planning yg sdh dibuat, tapi hrs ingat bahwa utk mewujudkan idealis tidaklah mudah, krn disamping faktor tehnis ada non tehnis yg bisa menggagalkan rencana tsb, maka pada saat itu kita kembali pada sisi realistis yaitu suatu kenyataan yg hrs kita hadapi, sambil kembali merancang dan berusaha utk menuju yg idealis lagi, begitu seterusnya, insya Allah kadar stress akan bisa diminimalkan...
BalasHapusW juga dalam hal - hal tertentu biasanya perfeksionis, tapi dalam hal-hal lain sangat serampangan.
BalasHapusTergantung perlu apa tidak ?
Atau penting apa tidak ?
heheheheheh. Tapi secara umum saya sangat sangat sangat cuekkkk,....
Btw, mau komentar di blogspot kok ribet amat yahhh,...
Saya sih, dalam hal - hal tertentu sering perfeksionis.
BalasHapusTapi pada hal - hal lain sangat serampangan.
Tergantung , kira2 perlu gak.
Kira2 penting gak ?
Tapi secara umum, saya orang yang sangat - sangat cuekkkk
Btw , nice posting.
Tapi komen di blogspot, kok ribet amat yahhhhh
bagus kalau bisa menyadari karakter diri.! nah saya.. sampai sekarang gak tahu karakter saya apa.? hehe..
BalasHapusgak pa2 menjadi seorang perfectionist yang perlu dijaga adalah jangan karena sikap sperti ini mengganggu hubungan pertemanan atau persaudaraan dengan yang lain...selama lingkungan menerima ... okelah..lanjutkan...:D
BalasHapusbagaimana kalau pindah ke hutan ajah biar ga harus beberes :D wkkkwkwk, sebetulnya ga ada salahnya menjadi perfeksionis dan merasa tidak pernah puas asalkan kepada hal2 yang positif :) saya mah ga tau tentang psikologi sih jadi cuma bisa kasi saran sgituh :)
BalasHapuswahh...soal bersih-bersih rumah itu aku banget, Mbak... mesti satu paket...
BalasHapustapi jeleknya, aku akhirnya suka males beberes kalo ngerasa nggak punya cukup waktu untuk 'satu paket' itu... hehehehhe
Perfeksionis merupakan sikap alami dari seorang manusia,asal sikap perfeksionis yang kamu miliki tidak merugikan orang lain atau bahkan membuat orang di sekitar mejadi lebih baik itu malah bagus kok
BalasHapusDah aku follow blog kamu,gantian ya follow back balik
@andini : he em dink, saya pernah beberapa kali protes ke adek kalo ngepelnya kurang bersih. tapi selain itu seingat saya alhamdulilah saya belum pernah nyeplos ato ngomen langsung sama orang lain tentang hasil kerjanya yg saya anggap kurang memuaskan. biasanya saya perbaiki diam-diam, supaya ga ktauan sama orangnya..soalnya saya juga orangnya ga enakan, jadi sebisa mungkin berusaha buat ga nyinggung..saya pendam aja kalo misalnya ada yang kurang berkenan.
BalasHapus@tukang pos : emh, bener banget tuh,mas..saya sering ngrasa takut kalo pekerjaan saya ngecewain orang lain ato membawa dampak buruk buat dia. jadinya saya selalu brusaha kerja semaksimal mungkin,ga pduli saya tertekan ato gimana, yg penting orang puas sama kerjaan saya. Tapi mungkin memang harusnya saya lebih menghargai proses, bukan cuma hasil..selama ini saya cenderung terfokus sama hasil semata
BalasHapus@angga : ide yang bagus,mas..walau saya cenderung perfeksionis tapi kalau soal manajemen waktu memang agak berantakan..sepertinya memang harus dibenahi lagi biar saya sendiri ga keteteran. makasih banyak masukannya,mas. salam bloofers ^^
BalasHapus@insan : opini mas mengenai sisi idealis dan realistis sangat menarik sekali. slama ini saya terpaku pada sisi idealis tapi kurang realsitis saat realita tsb. tidak sesuai standar ideal saya..kini,sudah saatnya saya "membesarkan porsi" sisi realistis tsb. dalam diri saya..
trimakasih kunjungan dan masukannya ^^
@abie : makasih,mas..^^
BalasHapussaya juga kadang berantakan ko,mas..tapi entah bawaan lahir ato apa,lebih banyak kadar perfeksion nya ktimbang ugal2annya. suka iri juga liat orang yg bisa cuek, mereka ga perlu dikhawatirkan dengan beban2 untuk mencapai sesuatu yg sempurna..
btw, ribet gimana,mas?
@roe : hehe, sebenernya saya juga sampe saat ini masih krisis kepribadian ko,mas. kadang saya itu pemurung dan introvert, kadang saya anggun dan *sok* dewasa, kadang malah kekanakkan dan suka heboh heboh ga jelas..nah lho??hehe
@nitnot : makasih banyak masukannya,mas..saya juga suka takut bikin tersinggung orang lain,padahal kan maksud saya bukan pengen sok sok an..mudah2an semakin banyak orang yg memahami karakter saya dan saya juga bisa memahami orang lain dengan kelebihan dan kekurangan masing2.. :)
@ananda : kalo saya pindah ke hutan, gimana nasib anak2 saya mas? anak saya ada tiga, yang dua sekolah es de,yang satu masih te ka..siapa yang mau ngurusin mereka? heuu LOL.hehe..
BalasHapusAlhamdulillah saya juga sejauh ini perfeksionisnya sama hal-hal yang positif aja ko..hehe, gapapa kang ga ngerti psikologi juga, saya juga sama..yg pnting makasih udah mampir di sini^^
@aine: horeee,saya ada temen tukang bersih2 juga!! hehe ^^
ah bener tuh, kalo lagi ga mood malah jadi males beres2 karna kbayang ribetnya gimana..dilematis banget kan jadinya, huhu
@andy : yupz, smoga keperfeksionisan ini tidak membawa dampak negatif buat saya maupun org2 skitar..makasih kunjungan dan masukannya, oke tar difollback :)
jadilah dirimu sendiri :) salam
BalasHapus@hariyanto : yap, saya akan tetap menjadi diri sendiri sambil terus memperbaiki diri..
BalasHapusmakasih kunjungannya,mas...^^
wahh sama sepertiku hihihi:D
BalasHapushi, milky... thanks dah mampir di sini yaa...
BalasHapushoreeee, saya ada temen berarti... yippi.. yippi.. hehe :)
Postingan anda,,, saya banggeeettt...
BalasHapusSaya sering trauma apabila ada karya saya yang memiliki kesalahan kecilll yang sangat tidak kasat mata bersemayam didalamnya. Sangat tidak wajar dan tidak masuk akal... Saya ini overperfeksionisme... Beruntunglah saya karena ada yang sama persis seperti saya...
Sama masalah waktu,, saya begitu menyesali apabila ada kejadian kecillllll aja yang kelupaan atau ga sesuai rencana...
Saya trauma, saya tertekan... Gimana cara menghilangkan sifat ini... T_T
hehe, asiiik saya ada temen lagi (xixixi)
BalasHapuskalo saya saat ini berusaha buat redam sindrom itu perlahan-lahan. caranya adalah dengan berorientasi pada proses. Kita tanamkan aja pemikiran bahwa yang terpenting dari semua aktivitas kita terletak pada proses, bukan hasil. Kita toh dah berjuang semaksimal mungkin untuk proses ini. Jadi walopun hasil yang didapet rasanya kurang, kita bisa lebih lega karna kita udah hargain proses yang ada. Trus kita pasrahin aja semua hasil sama Allah, toh hasil yang buruk di mata kita belum tentu buruk di mata Allah dan juga orang lain...^^
yang penting, kita selalu belajar dari kesalahan, supaya ke depannya bisa lebih baik lagi dalam melakukan sesuatu :)