Social Icons

Pages

Jumat, Maret 15, 2013

The Journey From Jakarta To Himalaya

Saya ingin terus melangkah, menyaksikan kekerenan Sang Maha Keren...

Setelah Legian Kuta, buku kedua yang membuat saya gelisah belakangan ini adalah The Journey nya Gola Gong. Buku terbitan Salamadani tahun 2008 ini memuat kisah perjalanan Gola Gong menyusuri sejumlah negara di Asia sejak September 1991 sampai Mei 1992. Mulai dari Malaysia, Thailand, Laos, Bangladesh, India, Nepal dan Pakistan. Tulisan perjalanannya ini pernah dimuat secara bersambung di majalah Anita Cemerlang tahun 90 an, namun dalam The Journey disajikan kembali dengan cerita saat Gola Gong tengah menghadapi sakit pengapuran tulang punggung serta cerita saat bapaknya mengalami kelumpuhan dan kemudian meninggal dunia. Buku ini merupakan kilas balik masa lalu dan masa kini Gola Gong, membaca buku ini kita bisa tahu sepenggal proses hidup seorang Gola Gong dari masa ke masa. 

Gola Gong sendiri adalah penulis yang karyanya cukup akrab di telinga saya sejak lama. Bukunya antara lain Balada Si Roy, Anak Matahari, Travel Writer, dll. Buku The Journey menurutnya bukan hanya perjalanan fisik semata tapi juga perjalanan menuju Allah SWT. Maka tak heran jika buku ini juga menyuguhkan sisi perjalanan spiritual Gola Gong. 

Saya terpikat dengan cara Gola Gong memaparkan kisah perjalanannya melintas batas-batas negara sekaligus melintas batas kemampuan fisiknya. Tangan kiri Gola Gong diamputasi saat berusia 11 tahun, tapi meski memiliki keterbatasan fisik ia berhasil mendobrak batas itu dan membuktikan diri bahwa batas bukan penghalang. Ia pernah ditanya seorang lelaki Thailand saat berada di Khao San, ”bagaimana bisa satu tangan mengendarai sepeda sejauh ini?” dan Gola Gong menjawab dengan berkelakar: “Satu tangan oleh saya, dan satu tangan oleh Tuhan”. Subhanallah... Tekad, kawan, jika sudah kau miliki, takkan bisa menghentikanmu. 

Seperti yang ditulis dalam buku itu: 

di tengah keterbatasan yang ia miliki: fisik, keuangan, pengalaman dan penguasaan bahasa asing yang pas-pasan, ia berhasil mewujudkan sebagian cita-citanya untuk berkeliling dunia. 

Gola gong memang petualang sejati. Saat SMA sekitar tahun 80 an ia nekat menggelandang menyusuri kota-kota di Jawa. Dengan membawa serta kaset The Beatles, Rolling Stone, Ebiet G. Ade dan Iwan Fals ia ber-liften alias menumpang berbagai kendaraan tanpa membayar. Kuliahnya di Unpad tidak selesai karna ia memilih menyusuri nusantara selama dua tahun. Dan pada tahun 90 an akhirnya melebarkan sayap, menyusuri bumi Asia. Kisahnya mulai dari Malaysia hingga Pakistan ditulis dengan gaya yang asik. Yang paling seru sewaktu "terjebak perang" holy water pada Holy Festival di Varanasi India, dan yang paling menegangkan sewaktu ketemu seorang maho di Pakistan, Oh My God.. untung ga diapa-apain, haaaaa.. Atau ada juga kisah cinloknya dengan seorang cewek Berlin yang membuatnya sempat dilema. Juga pengakuan jujur dan apa adanya bahwa ia sempat jauh dari Tuhan saat berada di India dan Nepal. Kami lantas dijamu makan dan minum (alkohol, tentu). Aku betul-betul memang jadi jauh dari Tuhan selama di India dan Nepal. Aku menyadari itu. (halaman 173)

Dari buku ini saya bisa merasakan energi Gola Gong muda yang meluap-luap, kecintaannya pada melangkah dan keindahan caranya memaknai hidup. Bagiku, menyusuri bumi adalah juga perwujudan dari iqra. Membaca dunia. Aku belajar langsung dari Maha Guru Kehidupan; Allah. (menu pembuka The Journey)

Atau yang ia tulis di halaman 17:
tidur di stasiun kereta api, terminal bus dan teras masjid sangat menantang serta banyak memberi pelajaran berharga. Bertemu dengan orang-orang baru, merangsang imajinasiku untuk terus melakukan perjalanan absurd pada usia sekolahan, di mana orang-orang seusiaku saat itu sedang tekun mempersiapkan ujian skolah. Betapa heroiknya, duduk di samping sopir truk pada malam hari, menemani kantuknya, mendengar ceritanya yang penuh derita sehingga mengasah rasa sosialku.

Sungguh luar biasa cara Gola Gong menikmati dan memaknai hidup.

Lalu apa yang membuat saya jadi gelisah? Karna saya jadi “kepengen”. Iya, saya ingin seperti Gola Gong, bisa menginjakkan kaki di tempat-tempat baru, bertemu orang-orang baru, melihat adat dan tradisi baru. Saya ingin terus melangkah, menyaksikan kekerenan Sang Maha Keren yang tersebar di setiap penjuru bumi. Hidup hanya satu kali. Dan saya sangat berharap Tuhan  pun memperbolehkan saya  menyusuri bumiNya.. Aamiin...

Saya merasakan indahnya menyusuri tempat-tempat baru saat mulai jatuh cinta dengan traveling dua tahun lalu. Tapi saya malu sih mau nyebut suka traveling, soalnya jejak saya belumlah seberapa, hehe.. baru beberapa tempat saja yang saya datangi, itupun tidak intensif saya lakukan karna satu dan lain hal. Namun saya benar-benar jatuh hati pada kegiatan ini. Sungguh suatu kepuasan batin yang luar biasa besar ketika saya berhasil menginjakkan kaki di tempat yang baru. Nikmat rasanya bisa melihat alun-alun, jalanan, pasar, wisata alam maupun perkampungan yang ada di kota-kota baru. Karena itulah saya ingin terus melangkah. Hanya sayangnya langkah saya kerap tersendat. Keterbatasan biaya, waktu, teman jalan, ijin orangtua adalah tantangan yang paling sering menghambat gerak saya. Soal biaya, saya bisa dibilang termasuk anak muda yang jarang punya duit besar. Percaya ato ga, uang jajan saya semasa kuliah hanya lima ribu sehari, serius. Anak tetangga saya yang SD aja lebih gede, Hehe.. tapi buktinya saya masih bisa survive kan? Hidup itu yang penting berkah, toh rezeki bisa dateng dari mana aja. Yah mudah-mudahan aja dink hidup saya ini emang berkah,hehe.Saya tau ibu saya bukan pelit dengan ngasih jatah hanya segitu, sama sekali ibu saya ga bermaksud pelit. Tapi memang kondisi ekonomi tidak selalu mendukung. Ibu saya juga punya pandangan, bahwa uang saku yang terbatas dimaksudkan supaya anak-anaknya bisa lebih prihatin, sebab kalo terbiasa prihatin bisa lebih tergerak untuk maju, begitu kata ibu saya. Dan sekarang saya bisa membuktikan kebenaran ucapan ibu saya itu. Meski sering kesulitan, tapi saya dapet hikmah tersendiri dari dikasih duit pas-pasan. Saya jadi terbiasa hemat, juga jadi cerdas menganalisa dan memilah pos pengeluaran (untuk jajan, fotokopian, pulsa dan lain-lain), sesuatu yang bisa berguna sepanjang proses hidup saya. 

Nah kendala lainnya adalah ijin orangtua. Ibu saya termasuk tipe ibu protektif, lah saya jam lima sore belum pulang kuliah aja uda ditelponin, hehehe... Saya sulit dapet ijin kalo jalan sendiri atau jalan dengan teman-teman baru. Saya diijinin jalan kalo sama temen-temen yang udah dikenal baik sama ibu saya. Satu sisi saya emang ngerasa terkekang, saya iri liat orang lain yang kayanya gampang banget mau jalan kemana, dengan siapa. Tapi di sisi lain saya menganggap ini sebagai wujud cinta luar biasa dari ibu saya. Dan saya  sangat mencintai wanita hebat ini, maka saya memilih menahan diri untuknya. Saya rasa, tiket kebebasan  akan saya dapetin kalo misalnya udah nikah, hehe.. Saya berharap kalo sudah menikah saya bisa melangkah terus, dan bisa lebih nyaman karna disertai muhrim kan, hehehe..

Dan kini, The Journey membuat keinginan melangkah itu meletup-letup kembali. Sudah beberapa bulan saya ga kemana-mana, rasanya kangen ingin melangkah lagi...

oh iya, seperti yang tadi saya katakan, The Journey bukan hanya perjalanan fisik Gola Gong mengelilingi sejumlah negara, tapi juga perjalanan hati. Saya menemukan berbagai pelajaran tentang makna kehidupan, terutama kesabarannya menghadapi penyakit berat yang menimpanya maupun yang menimpa almarhum bapaknya. Buku ini bukan hanya membangkitkan keinginan saya untuk terus melangkah, membaca bumi Allah, tapi juga mengajari saya arti semangat hidup, optimisme dan ketegaran. 

Saya yang juga berfisik lemah dan sakitan belajar lebih tegar. Selama ini saya sering mengeluh dengan rentetan penyakit yang Allah beri, tapi ternyata sakit saya ngga seberapa dibanding penyakit yang diderita Gola gong. Gola Gong telah mengajari saya untuk bersyukur, untuk tegar. Aku selalu berpikir optimis. Penuh semangat. Slogan tetap semangat yang sering aku dengung-dengungkan. Semangat,inilah pelajaran paling berharga yang saya terima dari perjalanan hatinya Gola Gong dalam The journey.


Terimakasih Gola Gong...terimakasih banyak, telah mengajari saya semangat, optimisme, ketegaran, dan kecintaan untuk melangkah...


14 komentar:

  1. pertamax
    mengamankan pintu utamanya dulu.

    modemku lemotgila...saking lemotku sampe ng'heng laptopku, seharian tak pantengin..
    hadeuh ampun ah, besok lagi deh bacanya.
    salam sehat selalu deh yah

    BalasHapus
  2. Di balik perjalanan ada sebuah kisah.. dan memang cukup menarik untuk dilukiskan dengan kata-kata.. jalan2 yg deket2 aja.. garut, bdg, dan wilayah jabar masih banyak tempat menarik yg layak dikunjungi dan dapat "menyaksikan kekerenan Sang Maha Keren". :)

    BalasHapus
  3. Gola Gong emang patut diteladani. Saya yang baru dua minggu ini dikasih sakit flu, masuk angin, dan batuk tak berdahak saja udah ngerasa diuji berat banget sama Allah, beuh.. apalagi beliau yang penyakitnya aneh-aneh!
    Setuju... hidup itu survive. han.. :) jangan mau stagnan di zona aman dan nyaman mulu ... optimis dan semangat!!!

    BalasHapus
  4. hadir saya kali ini m'baca sampe tuntas.
    "anak muda jangan loyo, jangan kemayu, jangan cengeng, bunsungkan dadamu dalam setiap kondisi apapun dan berteriaklah sekuatmu, kepalkan tinjumu setinggi tingginya, dan bilang pada dunia "wahai dunia...aku adalah anakmu akan kutaklukan engkau" jangan engkau lemah karena kurangmu, engkau harus yakin, justru disitulah letak kekuatanmu....mungkin gituh inti yang ingin disampaikan Golagong.
    hayo bangun dan cerialah selalu kaya sayah yeuh...hehehe

    BalasHapus
  5. hidup adalah sebuah perjalanan yang menunggu akhir perjalanan,jadi mari kita pergunakan hidup ini dengan penuh arti.setlah saya embaca kisah di atas saya jadi semangat.

    BalasHapus
  6. gola gong...salah satu traveller sejati dari Indonesia...salut untuk gola gong :-)

    BalasHapus
  7. Assalamu'alaikum,Ngiring maos Neng,,nice post,terus berkarya and tetap semangat eayah,,,,

    BalasHapus
  8. @satubumikita: hehe yap, semoga kaki kecil ini bisa terus melangkah... pengen banget sebenernya bisa gabung sama temen2 Satubumikita, jalan kemana gitu.. tapi yah itu dia, susah ijinnya, hiksss

    @cepy: mudah-mudahan saya jadi ga gampang ngeluh juga sekarang.. ga kebayang kalo sampe harus ngalamin kaya MAs Gola Gong...tapi beliau emang bener2 tabah orangnya, salut :)

    BalasHapus
  9. @desa : tepat sekali apa yang akang sampaikan..
    iya saya juga belajar ceria dari pak Kades Cilembu nih, hihihi :D

    @zig zoor : benar kang... hidup adalah perjalanan, dan sebaik-baiknya perjalanan adalah yang memiliki arti yang indah bagi diri sendiri dan bagi orang banyak :)

    BalasHapus
  10. @hariyanto : jauh sbelum "backpacking dan traveling" jadi terkenal seperti saat ini, Gola Gong sudah jauh-jauh hari jadi seorang backpacker dan traveler, keren banget yah :)

    BalasHapus
  11. @dede : waalaikumsalam kang, hatur nuhun kasumpinganna... salam blogging :)

    BalasHapus
  12. assalaamu'alaikum...
    menarik sekali membaca resume dari mbak, serasa ikut berpetualang didalamnya

    BalasHapus
  13. @agus : waalaikumsalam... terimakasih banyak ya mas, terimakasih juga sudah mampir :)

    BalasHapus

Hei sobat, komenin postingannya dunk... Tapi pleaaseee jangan ninggalin link hidup di sini yaa, makasih ^^